Kim Jong-un Tinggalkan Filosofi Negara dalam Satukan Korea
Ditulis oleh: Dwina Agustin
JAKARTA -- Resolusi tahun baru Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un ternyata membuat dunia cukup kaget. Dulu, ide penyatuan Korea sangat keras dipegang oleh Korut, kini Kim jutsru memilih untuk tidak akan lagi mengupayakan rekonsiliasi dan reunifikasi dengan Korea Selatan (Korsel).
“Sudah waktunya bagi kita untuk mengakui kenyataan dan memperjelas hubungan kita dengan Korsel,” kata Kim pada 31 Desember 2023, dikutip dari CNN.
Menurut laporan kantor berita resmi Korut KCNA, Kim menegaskan, hubungan antar-Korea telah menjadi hubungan antara dua negara yang bermusuhan dan dua negara yang berperang. Dia menekankan posisi dua negara, artinya Kim memberi status kepada Korsel sebagai sebuah negara, seperti Korut. Penyataan terbaru Kim ini juga menjadi yang pertama pemimpin Korut secara eksplisit membatalkan unifikasi sebagai tujuan kebijakan antar-Korea dalam beberapa dekade terakhir.
BACA JUGA: Fenomena Bayi Hantu di Korea Selatan
Hubungan Korut dan Korsel telah terputus satu sama lain sejak berakhirnya Perang Korea pada 1953 dengan gencatan senjata. Kedua belah pihak secara teknis masih berperang, tetapi kedua pemerintahan telah lama berupaya mencapai tujuan untuk bersatu kembali suatu hari nanti.
Peneliti senior East Asian International Relations CAUCUS (EAIR) Hoo Chiew-Ping mengatakan, pernyataan terbaru Kim mengenai reunifikasi sangat penting. Pernyataan Kim menandakan terobosan dari filosofi lama Korut yang mengupayakan unifikasi melalui konfederasi awal dua sistem, sebuah pendekatan yang setidaknya telah dilakukan sejak era Kim Il Sung.
Menurut Hoo, Kim dalam beberapa tahun terakhir semakin menjauh dari ide reunifikasi dan tidak selalu menekankan “hubungan antar-Korea”. Istilah hubungan antar-Korea digunakan untuk menggambarkan dialog antara Korsel dan Korut untuk menghindari pengakuan sebagai negara yang berbeda.
BACA JUGA: Detente AS-Rusia Berakhir
Tapi, menurut NK News, penyataan Kim memicu kekhawatiran. Beberapa pihak menilai bahwa perubahan retorika tersebut tidak menandakan keinginan baru Pyongyang untuk menerima status quo. Pengakuan Kim ini bisa menjadi landasan logis bagi rezim tersebut untuk mengarahkan senjata nuklirnya kepada pihak lawan yang tidak lagi dipandang sebagai saudara tetapi sebagai pihak yang berkuasa.