Industri Palestina Suram Akibat Perang
Ditulis oleh Rizky Jaramaya
BETHLEHEM -- Beberapa bulan terakhir, manajer salah satu dari tiga pabrik aluminium terbesar di wilayah pendudukan Tepi Barat Muhanad Nairoukh, mengatakan kepada Aljazirah, dia mengalami kondisi produksi dan keuntungan terburuk dalam jangka waktu yang lama. Kehidupan di Tepi Barat menjadi lebih berbahaya dan rumit bagi masyarakat bersamaan dengan industri yang hampir terhenti akibat tindakan Israel, sehingga tidak mungkin untuk menjalankan bisnis seperti biasa.
Nairoukh mengelola lebih dari 30 karyawan. Dia berupaya menjaga perusahaan yang didirikan ayahnya pada tahun 1993 tetap berjalan. Dia terpaksa memangkas biaya karena perusahaan beroperasi pada kapasitas 40 persen, dan produksi telah berkurang sebesar 60 persen.
Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS) memperkirakan, pada akhir Desember terjadi kerugian ekonomi secara keseluruhan di Palestina. Pada awal perang yang meletus pada 7 Oktober 2023, Palestina mencatat kerugian ekonomi mencapai sekitar 1,5 miliar dolar AS, atau setara dengan sekitar 25 juta dolar AS per hari. Jumlah tersebut tidak termasuk kerugian langsung atas properti dan aset.
Nairoukh menambahkan, pos pemeriksaan juga mempengaruhi kemampuan pekerja untuk tiba di tempat kerja tepat waktu. Karena pengemudi truk harus mengubah rute kiriman mereka, sehingga membuat mereka menghadapi bahaya selain membuang-buang waktu.
Mengimpor bahan mentah, seperti yang dilakukan Nairoukh dari beberapa negara termasuk Cina, Italia, Spanyol, dan Turki, menjadi rumit karena penutupan pelabuhan pada awal perang. Hal ini menyebabkan penundaan dan biaya meningkat. Nairoukh mengadakan, pengiriman dari Cina biasanya seharga 1.650 dolar AS sebelum perang. Namun biaya meroket menjadi 7.600 dolar AS setelah perang, atau terjadi peningkatan sebesar 360 persen. Nairoukh tidak akan mampu menanggung Kena iklan harga ini lebih lama, terutama karena adanya penundaan.
Sekretaris jenderal Federasi Kamar Dagang, Industri dan Pertanian Palestina, Samir Hazboun, mengatakan, industri ekstraktif dan transformatif di Palestina berada dalam masalah. Dia menambahkan, faktor lain seperti nilai tukar yang fluktuatif pada industri yang mengimpor bahan baku juga berperan besar.
Nairoukh dan pemilik usaha lain yang melayani sektor konstruksi, mengalami kerugian besar karena pembangunan hampir terhenti. Selain itu, semakin sedikit pegawai sektor publik dan swasta yang menerima gaji, serta warga Palestina yang pernah bekerja di Israel dilarang melintasi pos pemeriksaan.
Nairoukh mengadakan dari Oktober hingga Mei biasanya merupakan musim ramai konstruksi. Namun tahun ini menjadi musim kerugian yang signifikan. Mengumpulkan uang yang terhutang pada pesanan lama juga menjadi lebih rumit. Pengeluaran cek dibatalkan karena orang yang menulisnya beberapa bulan lalu kini memiliki rekening bank yang kosong. Hanya dalam satu hari, Nairoukh mendapat cek senilai sekitar 67.000 shekel (18.000 dolar AS).
"Tidak mungkin mencoba untuk mengejar orang-orang ini, karena tidak mungkin mengharapkan mereka membayar sejumlah uang ketika situasinya sangat buruk bagi seluruh warga Palestina," ujar Nairoukh.
Hazboun memperkirakan, jika kondisi ini terus berlanjut, akan banyak terjadi keruntuhan ekonomi. Misalnya hanya 30 hingga 35 dari 130 pabrik batu dan bahan mentah di Betlehem yang beroperas
Nairoukh merasakan kesulitan ini dalam semua aspek kehidupannya. Ayah dua anak ini harus menunda proyek pemeliharaan dan renovasi rumah keluarganya, yang diharapkan akan mengurangi pengeluaran rumah tangga jika perang terus berlanjut.
Nairoukh mempertahankan karyawannya dan tetap membayar gaji mereka. Namun ia mengakui bahwa hal ini tidak akan mungkin terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama lagi jika perang terus berlanjut, dan pada saat itulah mungkin dia perlu melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Karyawan Nairoukh juga mengkhawatirkan mata pencaharian mereka. Mereka menganggap diri mereka beruntung karena masih memiliki pekerjaan. Namun di sisi lain mereka sadar bahwa situasinya sangat genting.
Rakan Ibrahim Abu Al-Hur, yang tinggal di dekat Bethlehem, menganggap dirinya beruntung masih memiliki pekerjaan memotong dan mengolah gulungan aluminium. Dia harus bertanggung jawab menghidupi orang tua dan kelima saudaranya. Dia sangat berharap keadaan segera membaik.
Rakan menceritakan betapa sulitnya sekarang untuk bepergian bolak-balik dari desanya di ash-Shawawra ke Bethlehem untuk bekerja. Pos pemeriksaan di pintu masuk kota sering ditutup atau jalur pemeriksaan panjang dan lambat, sehingga menghambat siapa pun yang mencoba melewatinya.
“Saya berharap semua ini segera berakhir karena jika perang tidak berhenti, segalanya akan runtuh dan saya akan kehilangan pekerjaan,” kata Rakan.