Anak Gaza yang Terluka Hingga Tidak Dapat Dikenali
GAZA -- Ahmed Abu Zariaan yang berusia lima tahun tetap tidak teridentifikasi selama lebih dari seminggu. Dia berbaring di tempat tidur di European Hospital di Gaza selatan, tersembunyi di balik perban yang menutupi wajahnya yang terluka.
Anak Gaza Palestina yang terluka itu adalah salah satu dari banyak generasi muda di daerah kantong yang didaftarkan sebagai “tidak diketahui”. Kategori ini dikenal dengan wounded child, no surviving family (WCNSF) atau anak yang terluka, tidak ada keluarga yang selamat.
Keluarga Ahmed gugur dalam serangan udara Israel saat melakukan perjalanan ke arah selatan di sepanjang Salah al-Din Street pada awal November 2023. Padahal rute ini ditetapkan oleh Israel sebagai jalur aman dari Gaza utara menuju Gaza bagian selatan.
BACA JUGA: Pembunuhan Sadis Militer Israel terhadap Ratusan Warga Sipil di Rafah
Keluarga beranggotakan lima orang ini meninggalkan Beit Hanoon dengan kereta keledai dan menuju Rafah, di perbatasan dengan Mesir. Namun, serangan yang menargetkan rumah di dekatnya di sepanjang jalan membunuh seluruh keluarga itu, terkecuali Ahmed.
Perawat berusia 28 tahun di European Hospital Nour Lafi mengatakan, anak laki-laki tersebut dirawat intensif selama dua minggu setelah mengalami luka parah dan luka bakar. “Wajahnya tidak terlihat sama sekali dan tidak ada yang mengenalinya. Dia tidak disebutkan namanya,” katanya dikutip dari Aljazirah.
Bocah itu pun baru dikenali 10 hari kemudian oleh neneknya. Momen ini merupakan sebuah keajaiban, sebab terkadang cedera yang dialami seorang anak begitu parah sehingga keluarga mereka sendiri kesulitan mengenalinya.
Selama konflik, Save the Children menemukan, lebih dari 10 anak setiap hari kehilangan salah satu atau kedua kakinya. Sedangkan badan PBB untuk perlindungan anak-anak UNICEF memperkirakan, setidaknya 17 ribu anak di Jalur Gaza tidak didampingi atau dipisahkan dari keluarga sejak awal konflik pada 7 Oktober.
PBB memperkirakan sekitar 40 persen penduduk Gaza telah kehilangan kartu identitas dan dokumen lainnya. Kondisi ini lebih menyulitkan untuk mengidentifikasi anak-anak tanpa pendamping dan menyatukan mereka kembali dengan keluarga mereka.
“Pemisahan paksa membuat anak-anak terpapar berbagai bahaya dan peningkatan risiko eksploitasi, penelantaran, dan pelecehan,” kata juru bicara UNICEF Ammar Ammar.