Warga Palestina di Rafah: Kami Menunggu Mati
Ditulis oleh Esthi Maharani
RAFAH -- Seham al-Najjar dan keluarganya tidak punya tempat lain untuk lari jika Israel meningkatkan serangannya ke Rafah, sebuah kota di paling selatan Gaza. Seperti halnya 1,8 juta orang, Seham melarikan diri ke Rafah untuk mencari keamanan.
Dia tiba beberapa minggu yang lalu bersama 20 anggota keluarganya dari Khan Younis, sebuah kota yang dianggap “aman” oleh Israel pada awal perang dan kemudian menjadi puing-puing pada bulan Desember. Seham khawatir Rafah akan mengalami nasib yang lebih buruk.
"Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu ingin mengambil wilayah ini dari [Palestina] dan memberikannya kepada Zionis. Tidak ada tempat yang aman di Gaza," Seham, 30, mengatakan kepada Aljazirah dikutip pada Sabtu (10/2/2024).
Ratusan ribu warga Palestina di Rafah bersiap menghadapi serangan Israel yang dapat menambah daftar panjang kekejaman yang dilakukan di Gaza, menurut kelompok hak asasi manusia dan badan-badan PBB. Mereka mengatakan Israel dengan sengaja dan tidak proporsional menargetkan warga sipil di Gaza.
Israel telah membunuh 27.000 warga Palestina dan melukai lebih dari 66.000 orang dalam serangan yang menghancurkan sebagian besar Gaza, termasuk rumah, rumah sakit, museum, dan universitas. Pembantaian tersebut telah menewaskan lebih dari 1 persen penduduk Gaza hanya dalam waktu empat bulan, sehingga mendorong Mahkamah Internasional bulan lalu memperingatkan bahwa genosida “masuk akal” di Gaza.
PBB mengatakan “segala sesuatu harus dilakukan” untuk menghentikan serangan yang direncanakan terhadap Rafah, namun Israel mengabaikan kekhawatiran tersebut dan telah membunuh banyak orang di kota tersebut.
“Gaza adalah salah satu tempat terpadat penduduknya di dunia, dan Rafah kini menjadi tempat terpadat penduduknya di Gaza. Kampanye militer atau serangan udara apa pun akan memperbesar risiko serangan yang tidak proporsional,” kata Omar Shaki, direktur Israel-Palestina di Human Rights Watch
Berkali-kali mengungsi dan menunggu mati